Search

Sabtu, 30 Juli 2011

Harry Potter and The Deathly Hallows

Harry Potter and The Deathly Hallows : Part 2, Ending Yang Emosional


It All Ends… Itulah tema film Harry Potter and The Deathly Hallows : Part 2 yang Jumat (29/07) kemarin mulai tayang serentak diseluruh bioskop tanah air. Akhirnya selama penantian selama 2 minggu, Menteri Pariwisata Jero Wacik membolehkan kembali film-film Hollywood “beroperasi” di Indonesia. Betapa tidak, selama diblokirnya, kita hanya disugguhi dengan film-film bertema “hantu” dengan bumbu “seksi”. Entah apa maksudnya tapi itu sunggu tidak mendidik dan tidak mencerdaskan.

Penuh Emosi
Cerita berawal dengan sedikit flashback ketika Voldemort berhasil mendapatkan tongkat elder Prof. Dumbledore, salah satu tongkat terkuat yang juga termasuk satu dari tiga benda relikui kematian. Petualangan Harry, Ron dan Hermione kemudian dilanjutkan dengan penuh ketegangan menuju Bank Gringots untuk mendapatkan salah satu Horcrux dalam ruangan Bellatrix Lestrange.

Horcrux yang menjadi fokus utama film ini membuat trio Harry harus bisa mengahncurkannya untuk bisa membunuh Voldemort yang telah membagi jiwanya ke dalam Horcrux. satu per satu Horcrux yang ditemukan yakni Piala Hufflepuff dan Tiara Ravenclaw berhasil dengan segera ditemukan dan dihancurkan dengan gigi ular yang muncul dalam Harry Potter and The Chamber of Secret, seperti yang dilakukannya pada buku harian Voldemort yang bernama asli Tom Marvolo Riddle.

Harry yang akhirnya mengetahui bahwa dirinya adalah salah satu Horcrux akhirnya dengan berani menemui Voldemort untuk berduel. Voldemort yang mengira Harry telah mati dengan kutukannya merasa di atas angin. Justru yang mati atas kutukannya sendiri adalah jiwanya sendiri yang telah ia bagi bersama Harry Potter.
Film dengan durasi 120 menit ini berhasil dibuat dengan penuh emosi. Adegan-adegan perang dibuat denagn kolosal dan efek scoring musik yang menegangkan namun memilukan. Beberapa adegan memang sengaja dibuat denagn emosional untuk memberikan kesan mendalam bagi penonton yang telah mengikuti Harry Potter dari awal. Adegan-adegan peperangan yang berakhir dengan kematian Prof. Snape dibuat dengan memainkan perasaan penonton dengan memunculkan kembali masa lalu Snape yang ternyata mencintai Lily Potter yang tak lain adalah ibu dari Harry. Persepsi yang selama ini terbangun bahwa Snape jahat terungkap melalui pensieve. Beberapa adegan seperti cinta yang dipendam Snape terhadap Lily Potter, kebenaran kematian Dumbledore, dan Harry yang termasuk salah satu Horcrux adalah puncak emosi film ini.

Masih Kurang
Dibandingkan dengan bukunya, beberapa memang tidak digambarkan dengan jelas. Dalam film tidak diceritakan mengenai saudara-saudara Dumbledore, Arbeforth dan Ariana. Walaupun hanya sekilas dalam film, namun tokoh ini tetap memegang peran penting. Suasana perang juga masih kurang detail digambarkan dalam film, seperti pada kematian salah satu pasangan kembar Weasley. Namun, film ini tetap berhasil menunjukkan perang Hogwarts yang kolosal dengan fokus pada tiga tokoh utama trio Harry.
Sementara untuk adegan 19 tahun kemudian, juga tidak digambarkan seluruhnya. Masa depan masing-masing trio Harry. Hanya dimunculkan mereka mengantarkan anak-anak mereka menembus peron 9 3/4 menuju kereta Hogwarts. Di sini menekankan pada pilihan antara Slytherin dan Gryffindor yang kemungkinan akan dipilihkan Topi Seleksi untuk Albus Severus Potter, putra Harry Potter dan Ginny Weasley. Mereka yang diceritakan 19 tahun kemudian ternyata masih terlihat seperti anak-anak untuk ukuran 19 tahun kemudian. Hanya pakaian dan dandanan seadanya ternyata tidak merubah image mereka yang masih remaja. Jadinya adegan ini terlihat sangat dipaksakan.

Beberapa adegan ciuman dan adegan lucu yang terselip dalam adegan film juga termasuk bumbunya. Namun untuk adegan ciuman antara Harry dan Ginny juga Ron dan Hermione terlihat sedikit mengganggu, mengingat ini film untuk anak-anak. Ciuman sebelum perang yang biasanya menjadi ciri khas film-film barat memang sudah wajar terlihat, untuk memberi kesan salam perpisahan serta semangat untuk berjuang. Sementara untuk adegan lucu, mungkin dialog antar tokoh juga sangat pas sehingga tidak terlalu monoton. Tapi beberapa dialog malah mambuat tokohnya terlihat bodoh, seperti pada prof. Mc Gonagal.

Namun secara keseluruhan, film ini memang sangat emosional. Bahkan mengharukan. Permainan scoring dipadu dengan adegan-adegan perang yang kolosal memberikan efek bahwa inilah akhir petualangan Harry Potter. Seperti temanya, It All Ends. Semua berakhir dengan sangat epic.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar